home_tegal Home

Muthahhari Log April 2015: Tulisan Satu dari Tiga Bagian

Diposting pada: 2024-04-22, oleh : Administrator, Kategori: Catatan Guru

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad

fUpacara, Selasa 21 April 2024 di Sekolah Cerdas Muthahhari (SCM) menorehkan sejarah. Untuk pertama kalinya di SCM, kegiatan hari Kartini diperingati dengan pengibaran bendera Merah Putih. Semua petugas upacara, sejak pembina hingga pengibar bendera, diemban oleh guru-guru wanita. Ini hari Kartini, hari perempuan, hari mereka. Maka guru-guru berbaris rapi. Bu Nung yang menjadi Pembina Upacara terdengar menggelegar, karena anak-anak yang berdiri di baris belakang tak dapat melihatnya. Ia tak naik di undakan pertama yang biasa digunakan pembina. Mungkin, karena jadi pembina tak terduga. Ah, semua itu biasa. Saya sering menyebut guru-guru adalah S.Sn sesungguhnya. Bukan Sarjana Seni itu, bukan. Tapi Sarjana Spontan. Mereka harus selalu siap dengan ragam kondisi yang berbeda.

Di SMP Bahtera, datang berita. Anak-anak yang sedianya mengikuti gaung Angklung untuk memecahkan rekor dunia batal berlaga. Kata Bu Ochi, tiket yang terbatas membuat mereka kehilangan kesempatan. Next time, insya Allah. Toh, senyum optimisme senantiasa mengembang pada guru-guru luar biasa itu. Di ruang guru yang tenang bersahaja, mata mereka memancarkan rona pengabdian tak terkira.

Dan di SMA Plus Muthahhari, ibu-ibu guru tak kalah berbatik ria. Di hadapan anak-anak, diputarkan slide show sejarah Ibu Kartini. Bu Dewi dan guru-guru putri bersama murid-murid perempuan membacakan narasi tentang Ibu Kartini. Di antaranya, surat-suratnya tentang ketuhanan, tentang kemanusiaan, tentang perjuangan. Usai beracara, tak lupa mereka berfoto ria.

Demikianlah sehari peringatan Kartini dilalui. Begitu pula di SMP Plus Muthahhari di Kabupaten Bandung. Pagi di hari itu, saya melihat anak-anak kecil, usia Sekolah Dasar berhias begitu rupa. Mereka menghabiskan sejam atau dua (dengan antri menunggu) di tempat-tempat rias pengantin. Dengan langkah anggun, mereka berpakaian tradisional. Ikut mengambil peran dalam sebuah peristiwa bersejarah. Di Sekolah Cerdas Muthahhari, Kartini’s Day dengan gegap gempitanya dilakukan dua tahun sekali, atau pada saat ketika sewa pakaian itu tidak menemukan ‘peak season’nya.

Siapa Kartini? Dan mengapa ia diperingati begitu rupa. Usianya ketika meninggal tak lebih dari duapuluh lima. Sebuah pesan singkat dari Pak Hesthi, orangtua alumni SMA Plus Muthahhari, mengingatkan saya. Katanya, “Kartini itu dari ‘Qurrata ‘Ayni’. Artinya binar mataku. Tapi orang Jawa kesulitan menyebutnya. Jadilah ia Kartini.” Bisa jadi. Sangat dimungkinkan. Qurrata ‘ayni adalah panggilan sayang Rasulullah Saw pada putrinya Sayyidah Fathimah sa.

Bagi saya, Kartini istimewa. Selain namanya adalah nama dua perempuan yang melekat dalam keluarga saya dan istri, notasi do re mi lagu Kartini adalah satu-satunya yang saya bisa. Hanya sampai nada yang ketujuh itu. Do re mi fa sol mi do… sudah, selesai. Itu hasil pendidikan Sekolah Dasar saya. Istri saya lebih penuh memainkannya dari saya. Ia bisa sampai selesai, saya tidak. Bagaimana dengan Ibu dan Bapak orangtua murid, atau anak-anak Muthahhari seluruhnya. Berapa nada yang bisa dimainkan? Berpacu dalam melodi…

Terlepas dari siapa Kartini dan bagaimana sejarahnya, selalu ada hikmah yang bisa kita bingkai maknanya. Ia sering jadi tebak-tebakan klise, “Siapa nama sesungguhnya Ibu Kartini? Benar, Harum namanya.” Ada yang menyebut Kartini adalah tokoh yang dipopulerkan Orde Baru. Ada juga yang berpendapat Indonesia kekurangan teladan perempuan. Mengapa tidak Malahayati, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien atau tokoh-tokoh lainnya. Malah, situs-situs yang pernah dicekal Pemerintah karena menyebarkan paham radikalisme menjuluki Ibu Kartini dengan gelaran lainnya: Pluralis (dan itu buruk menurut mereka), pengikut Kebatinan, dan terpengaruh oleh paham Yahudi dan Kristiani. ‘Ala kulli hal, to be great is to be misunderstood. Orang besar memang sering disalahpahami.

Bagi saya, Ibu Kartini lebih dari sekadar memperjuangkan emansipasi. Bagi saya, yang ia dobrak adalah kemapanan, status quo. Yang ia sasar adalah ketidakadilan. Sebuah perasaan ketidaknyamanan melihat apa yang terjadi. Sebuah gerakan dan protes sosial. Ia bahkan tidak senang dengan yang berbau keningratan. Demikian surat-suratnya berbunyi, “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang membanggakan asal keturunannya…

…Pergilah! Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas.

…semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu bagi rakyat kami…dan andai itu tidak dapat kami capai…kami yakin benar bahwa air mata kami, yang kini tampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga yang akan menyehatkan generasi mendatang…

dan inilah petikan suratnya yang dikritik kawan-kawan situs seperti voa-islam dan eramuslim itu:

“Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni…

…betapa pun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu kebaikan. Kita juga mengabdi pada Kebaikan. Yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah…

…selama kami maklumi dan mengerti bahwa ujud semua agama itu baik dan bagus adanya. Tetapi, aduhai, manusia apa jadinya agama itu. Kalau perbedaan agama dimaksudkan untuk mempertarikan semua makhluk-makhluk Allah yang berkulit putih, maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki. Agama mana yang dipeluknya, semuanya kita ini adalah anak kepada Bapak Yang Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa…”

Demikianlah, petikan surat-surat itu dibaca oleh murid-murid SMA Plus Muthahhari. Semangat Pluralisme dan Humanisme Ibu Kartini terpancar jelas. Fairuz, murid perempuan Ketua MPK SMA Plus Muthahhari, meneruskan semangat Kartini, bersama kawannya, ia menutup dengan membacakan puisi berikut ini. Ia peroleh dari internet. Sumber sementara belum diketahui.

Oh Ibu putri sejati

Emansipasimu sekarang tak bermakna sama

Batasannya beragam rupa

Ada yang lupa kalau dia seorang istri, bekerja di luar tanpa henti

Ada yang lupa dia seorang ibu, lupa memberi bayinya asi, dengan alasan kerja biar dapat gaji untuk bayi

Ada yang…ah, Ibu putri Indonesia begitulah adanya

Ada pula yang emansipasi menjadi TKI, dan bunuh diri karena membela diri

Oh Ibu Kartini, putri yang mulia, tak jua semua begitu

Banyak juga menjaga harkatnya nan mulia

Ada yang menjadi dewan, menteri, professor, bahkan bisa menjadi presiden RI

 

(Miftah F.Rakhmat, Direktur Pendidikan Yayasan Muthahhari Bandung)


 


Print BeritaPrint PDFPDF

Berita Lainnya :

Tinggalkan Komentar


Nama *
Email * Tidak akan diterbitkan
Url  masukkan tanpa Http:// contoh :www.m-edukasi.web.id
Komentar *
security image
 Masukkan kode diatas
 

Ada 0 komentar untuk berita ini