Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Namanya unik. Muhammad Mahdi. Itulah dua nama yang mengguncangkan alam raya. Yang pertama, nama terbanyak di seluruh dunia. Nama Baginda kekasih hati, shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Dan yang kedua adalah nama Sang Juru Selamat akhir zaman sebagaimana bertebaran hadis tentang itu dalam berbagai kitab. Maka kedua nama itu melambangkan penyempurna pamungkas.
Mungkin ada banyak Muhammad Mahdi dalam sejarah. Satu di antaranya seorang anak muda, berusia belasan tahun. Beberapa hari yang lalu, ia gugur dalam pertempuran melawan teroris ISIS di Suriah. Jenazahnya disambut bukan hanya oleh keluarganya, yang memberi hormat saat iring-iringan itu lewat. Tapi juga oleh penduduk satu kota. Al-Kautsariyyah nama daerahnya, terletak di tepian pegunungan Amil di Libanon Selatan. Kota yang kenyang dengan perjuangan. Kota yang tidak pernah menyerah melawan penindasan.
Muhammad Mahdi yang satu ini unik, karena ada tambahan di belakang namanya: Ali Kajak. Saya tidak tahu dari mana kata Kajak berasal. Mungkin marga, mungkin nama keluarga. Muhammad Mahdi Ali Kajak, anak muda yang memelihara cinta dan semangat jauh lebih besar dari usianya. Dan saya, puluhan tahun lebih tua, tak sejengkal pun mendekati kelapangan hati dan kebesaran jiwanya.
Saya tak mengenal Muhammad Mahdi, tapi saya ingin sampaikan kisahnya. Saya ingin Indonesia mengenalnya. Saya ingin anak-anak muda memiliki semangat dan cintanya.
Tahun ajaran baru ini, saya mohon izin pada ayahanda. Saya cuti mengajar di kampus (universitas). Saya ingin kembali ke kampus (dikdas). Mungkin karena Pak Jokowi memisahkan pendidikan dasar menengah dengan pendidikan dikti, saya ikut gerbong Pak Menteri Anies. Saya mengelola lembaga pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Seorang kawan mengunjungi saya bulan Ramadhan lalu. Katanya, berbahagialah kau, pada saya. Kau berinteraksi dengan anak-anak muda. Kau punya kesempatan mengubah hidup mereka. Kau punya peluang memercikkan cahaya ruhaniah ke relung jiwa mereka. Bukankah ini pekerjaan para utusan? Memberi terang pada jalan manusia, seberapa lemahnya sinar itu berpendar. Berbahagialah kau, ujarnya.
Saya mengaminkan. Saya mohon doanya. Dipercayai para orangtua luar biasa itu adalah amanah teramat besarnya. Saya berdoa pada Allah Ta’ala. Hanya kasih sayangNya yang menopang si jahil lemah ini. Hanya perlindungan dan pertolonganNya jua. Lalu datang guru-guru berdedikasi, orang-orang yang memilih untuk mendermakan hidupnya menjadi bagian dari hidup jiwa-jiwa belia itu. Kepada mereka saya sampaikan wasiat Nabi Saw pada menantu terkasihnya, Ali ra ketika Nabi Saw mengutusnya untuk menyampaikan Islam pada penduduk Yaman: “…Demi Allah, sekiranya Allah Ta’ala memberikan petunjuk pada satu orang (saja) karenamu, (itu) lebih baik bagimu dari apa yang disinari matahari dan (setelah) tenggelamnya.”
Sekiranya ada seorang murid saja yang hidupnya berubah ke arah yang lebih baik karena guru-guru luar biasa itu, semoga saja mereka dan orangtua mereka memperoleh percikan pahala—sekecil apa pun—dari apa yang lebih baik disinari matahari itu. Begitu saya memotivasi.
Sebenarnya, semangat itu untuk diri saya sendiri. Tahun ini sekolah-sekolah Muthahhari yang saya dan kawan-kawan kelola ingin mengukuhkan diri sebagai 21st Century Learning Schools. SMA Plus Muthahhari telah lama menerapkan ujian berbasis e-learning. SMP Bahtera dan SMP Plus Muthahhari memasukkan keterampilan abad 21 itu dalam pembelajaran Life Skillnya: ada multimedia animasi, elektronika dan sebagainya. Sekolah Cerdas Muthahhari sejak awal berdiri menyematkan Sekolah Dasar berbasiskan Teknologi Informasi sebagai taglinenya. Mengapa? Karena zaman yang berubah demikian cepat itu. Sekolah wajib mempersiapkan diri.
Konon, sejak pergantian millenium, hingga seratus tahun ke depan diprediksi akan terjadi perubahan besar setara dengan perjalanan 20.000 tahun peradaban manusia. Dunia akan melihat banyak hal yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.
Masa depan anak-anak kita bagi saya punya dua ciri: digital dan instan. Anak-anak kita terlahir di era digital. Mereka disebut digital natives. Kita—para orangtua mereka—digital immigrants. Meski berulang kali kita membandingkan posisi kita dengan mereka dengan kalimat, “Dulu Ibu seusia kamu sudah bisa begini…dulu ayah sepantaran kamu sudah berani begitu…dan seterusnya…” kita pun harus jujur melihat banyak hal yang mereka kuasai pada usia mereka sekarang ini yang bahkan kita pada usia dewasa saat ini pun tidak mengetahui tentangnya. Cukuplah adab (menghormati sesama) itu bahwa setiap kali kau melihat orang lain, kau tahu ada pada diri mereka sesuatu yang lebih baik dari dirimu. Itu riwayat dari cucunda Nabi, Sayyidina Husain bin Ali ra. Artinya, bahkan anak-anak kita punya begitu banyak hal yang jauh lebih baik dari kita. That in itself deserves to earn our respect.
Lihatlah kemampuan mereka menjelajah dunia informasi, memegang gadget dan memainkannya. Sebagaimana segala sesuatu, selalu ada sisi lainnya. Apa itu? Anak-anak terbiasa dengan hal yang instan. Dulu, untuk memperoleh kesimpulan kita menjelajah berbagai buku dan teori. Sekarang, cukup dengan search engine. Kenikmatan pencarian itu hilang. Aha erlebnis dan teriakan “eureka” menjadi barang langka. Karena itu, pondasi yang dibangun cenderung tidak kuat karena tidak melalui penelusuran analisa dan ketiadaan berlatih dalam mengasah ketajamannya.
Bagi orangtua, bersiaplah untuk sering berargumentasi dengan anak-anak. Mungkin akan terkesan mereka mendebat kita, tidak patuh atau membantah kita. Sebenarnya, mereka tengah mengasah pisau logika mereka. Mereka tengah berlatih menajamkan kemampuan analisis mereka. Tentu, kita mungkin jengah melihatnya di tengah-tengah kerumunan kawan-kawannya, atau kawan-kawan kita. Karena kita masih mengukur anak-anak kita dengan ukuran yang sama sebagaimana kita dulu. Internet, kini, adalah gudang perpustakaan tak terhingga. Anak-anak bisa memperoleh pengetahuan dari mana saja, kapan saja. Senjata terakhir kita sebagai orangtua adalah argumentum ad verecundiam, ketika kita menggunakan otoritas senioritas. Mungkin kalimat ini terdengar akrab: “Sudah ya, Ibu capek, tanya Bapakmu saja. Nak, Bapak boleh minta kau diam dulu? Oh, itu karena aku Bapakmu, kau ikut saja apa kata Bapak. Nak, Ibu masih banyak kerjaan, nanti saja ya…Kau bicara apa sih, Nak?” dan sebagainya.
Gabungan dari dua hal: digital dan instan ini akan mengarahkan generasi yang akan datang pada hal yang paling berbahaya: pragmatisme dan konsumerisme. Anak-anak akan dituntut untuk berkarir, memilih pekerjaan, bahkan jurusan kuliah berdasarkan nilai rupiah yang mungkin mereka terima. Kedokteran menjadi pilihan favorit. Mengapa? Gajinya (dianggap) besar. Padahal di beberapa kota besar, jumlah dokter sudah membengkak, surplus bahkan. Anak tidak diajak menjadi, anak diajarkan untuk mengabdi. Mengabdi pada pundi-pundi. Mari koreksi diri. Pernahkah kita berkata: “Mau jadi apa kamu nanti, Nak? Mengambil jurusan itu, kerjanya nanti di mana? Sekolah ke Pesantren, mau jadi Ustad? Ambil pilihan yang nanti bisa membuat kamu mudah mendapatkan pekerjaan…dan semisalnya”. Adalah mulia jadi dokter, bila yang kita arahkan pengabdian pada saudara sependeritaan. Bekerja di pedalaman, di tempat-tempat yang dipinggirkan. Tapi bila tujuan awal adalah penghasilan, kita terkena gabungan mematikan dari virus digital dan budaya instan itu. Ia akan mengarah pada konsumerisme. Ciri-cirinya yang bisa terlihat sejak awal: kecenderungan punya gadget terbaru, selalu menyesuaikan diri dengan trend, musik dan film yang mengikuti selera pasar. Gelisah disebut ketinggalan zaman. Bila hal itu dimiliki anak-anak kita di usia sekolahan mereka, kita mengarahkan mereka pada konsumerisme. Sudah bukan rahasia lagi bila Indonesia adalah pasar terbuka. Surga bagi para pebisnis dunia. Korporat-korporat raksasa.
The silver liningnya adalah masa depan juga menjanjikan pilihan karir yang mungkin tidak ada sekarang ini. Saya sering mencontohkan pembuat aplikasi di smartphone. Tujuh delapan tahun yang lalu mungkin tidak populer, bahkan tidak dikenal. Tapi kini, ratusan anak negeri telah mendobrak dominasi pembuat aplikasi dunia. Banyak program dibuat oleh anak-anak Indonesia. Secara finansial, menjanjikan dan punya tingkat persaingan yang tinggi pula. Tahun 2013, dunia dikejutkan oleh permainan sederhana Flappy Bird. Game rancangan Dong Nguyen dari Vietnam ini didownload oleh lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Sejak Mei 2013 hingga ditutup pada Februari 2014, Nguyen meraup keuntungan USD 50.000 per hari dari iklan. Ia memilih menghentikan game itu karena tak mengiranya akan menjadi begitu adiktif. Hanya dalam hitungan pekan saja setelah Flappy Bird ditutup ada 2000-an lebih games yang sama yang meniru keberhasilannya.
Itulah gambaran masa depan yang kompleks. Sekolah wajib mempersiapkan diri, membuka wawasan anak-anak dan (terutama) orangtua murid akan satu zaman yang bahkan tidak bisa kita lihat dalam mimpi kita. Ada banyak tantangan yang menyertainya: anak-anak sebaiknya memiliki networking yang baik, anak-anak belajar mengolah kata yang baik, membaca dan memilah postingan yang sesuai, menjaga adab berinteraksi di sosial media dan sebagainya. Kami menyebutnya IT Literacy. Melek IT. Sadar IT sedari dini. Di sekolah-sekolah Muthahhari ada pelajaran khususnya. Hal-hal yang mungkin dianggap sepele: hindari menggunakan komputer di tempat umum, selalu log out bila selesai menggunakan, dan sebagainya.
Kita sudah sering mendengar kejahatan yang dibungkus oleh kecenderungan instan itu. Penculikan, penyekapan, penipuan, pencucian uang dan masih banyak lagi. Ini akan membawa kita pada kemungkinan kompleksitas permasalahan yang akan dihadapi anak-anak kita. Mereka akan menghadapi tantangan yang tidak pernah kita hadapi. Pencorengan nama baik, fitnah di sosial media, aib yang disebarkan, foto pribadi yang beredar…dan seterusnya. Bagaimana mempersiapkan mental mereka? Bagaimana kita bisa berbagi padahal kita tidak mengalami? Bagaimana anak-anak kita akan bertahan di tengah arus zaman yang membingungkan?
Inilah tugas kedua dari sekolah: penanaman nilai-nilai karakter yang berkesinambungan. Tahun ini, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berusaha menjawab tantangan itu dengan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Kami dan semua civitas academica Muthahhari mendukung penuh. Di sekolah-sekolah kami, disusun kurikulum Life Skill khusus, dirumuskan oleh ayahanda saya, Ketua Dewan Pembina Yayasan. Ada Happiness Skill, ada Coping Skill, Communication Skill, hingga Financial dan Spiritual Skill. Semua untuk memenuhi kebutuhan masa depan itu.
Tahun ini, seluruh sekolah mengambil tema: dari Indonesia untuk Islam rahmat semesta. Anak-anak diperkenalkan pada tokoh-tokoh toleransi dan guru bangsa. Mulai dari wali songo hingga Buya Ma’arif dan Gus Mustofa Bisri. Benar belakangan ramai diskusi seputar Islam Nusantara dan bukan. Menurut kami, di antara ciri khas Islam Indonesia itu adalah nilai-nilai toleransi yang luhur. Itu yang kami coba terapkan. Itu yang harus berhasil kami tanamkan pada anak-anak. Masa depan hanya bisa dijalani dengan pemahaman terhadap perbedaan yang luas. Bagaimana tidak? Dunia anak-anak sudah tidak berbatas, lalu kita masih ingin mengotak-kotak diri dalam bingkai kelompok yang sempit? Anak-anak akan berinteraksi dengan begitu banyak manusia dengan isi kepala yang berbeda. Indonesia adalah bhinneka tunggal ika. Indonesia adalah perbedaan.
Manakala budaya instan dan permasalahan kehidupan bergabung jadi satu, anak-anak bisa tergiur iming-iming yang instan pula. Mereka terbuai godaan radikalisme. Mengikat bom di badan agar masuk surga tanpa perhitungan. Mereka lari dari permasalahan dengan mencari jalan keluar yang instan. Ini berbahaya. Ini yang harus kami hindarkan.
Karena itu, di samping mempersiapkan masa depan 21st century itu, lalu memberikan keterampilan hidup yang menjawab kompleksitas permasalahan, anak-anak wajib dibekali pula dengan pemahaman keagamaan yang tidak instan. Mereka perlu dididik cara berpikir, logika, dan kemampuan untuk mencerna beragam pendapat yang ada. Bila semua orang percaya, ujian terbesar diberikan pada anugerah terbesar, maka anugerah apa lagi yang lebih besar dari agama dan petunjuk Sang Maha pemberi kehidupan? Bagaimana mungkin kita berharap laut tenang-tenang saja dalam mengarungi perjalanan sampai ke dermaga kasih Tuhan? Pasti ada goncangan, pasti ada ujian, pasti ada hantaman di kiri dan kanan. Pemahaman agama yang baik adalah pemahaman agama yang bertahan di tengah berbagai deraan, itulah akar kuat yang mencengkeram pohon sehingga cabangnya bisa tinggi hingga ke langit, dan buahnya mendatangkan hasil bagi siapa saja. Apa pun latar belakang kelompok dan kehidupannya. Sekolah juga berkewajiban untuk memperkuat akar itu, hingga anak-anak mampu berkhidmat untuk memberikan manfaat pada sebanyak mungkin sesamanya. Sederhananya: belajar agama (di jalan yang mengarah pada kebenaran) wajarlah bila sulit dan memerlukan penelaahan. Tidak pernah instan.
Inilah yang saya bagi dengan guru-guru di lingkungan Sekolah Muthahhari tahun ini. Mempersiapkan generasi yang akan berkiprah pada zaman yang cepat berubah itu. Karena amanah Ibu dan Bapak orangtua murid alangkah teramat bernilainya.
Untuk itu, kami melakukan senarai perubahan dan persiapan. Antara lain reformasi struktural dan kultural. Sekolah mengubah kebiasaan. Di SMA, kegiatan X-Day bermetamorfosa menjadi T-Time. Ragam minat anak difasilitasi dalam bentuk unit kegiatan. Yang punya bakat di gitar, bahasa asing dan sebagainya bisa membentuk unit-unit kegiatan mandiri yang diselenggarakan di luar jam reguler. Ada pula pelajaran baru, Creative Reading and Writing. Di dalamnya ada materi critical thinking. Belajar kesalahan-kesalahan berpikir. Ada pula Games Motivasi dan sebagainya. Di SMP dan SD, kami mempersiapkan kurikulum keagamaan yang selaras dengan nafas perubahan itu. SMP sudah membudayakan diri dengan berbagi bacaan nonteks. SD punya jam bookreading. Kami berbenah. Kami percaya, we do our best. God will take care the rest.
Mungkin terlalu jauh kami berharap, tapi kami belajar dari seorang Muhammad Mahdi Ali Kajak. Barangkali ia baru lulus SMA, kuliah pula. Ia meminta izin pada ibunya, terpanggil untuk menolong saudara-saudaranya. Ia prihatin pada korban-korban ISIS dan tindak kekerasan yang dilakukan pada mereka. Ia tidak bisa diam melihat kejahatan terhadap kemanusiaan dipertontonkan. Hatinya tidak tenang. Berangkatlah ia untuk menolong korban perang itu, dan akhirnya ia pun ikut berperang melawan ISIS. Belum lama ini, ia gugur. Apa yang istimewa dari kisahnya? Penutup saya berikut ini.
Alkisah, seorang Sayyid (keturunan Rasulullah Saw) berdoa di pusara Imam Ridha ra. Imam Ridha adalah seorang di antara keturunan Rasulullah Saw yang makamnya ramai diziarahi di kota Mashhad, Iran. Imam Ridha juga penyambung hampir seluruh silsilah tarekat yang ada di dunia. Sayyid ini berdoa agar ia diizinkan membawa bendera yang dipancangkan di atas kubah makam. Ia ingin membawanya ke Libanon. Ia berniat untuk bepergian ke sana. Untuk apa bendera itu? Katanya ia ingin menyelimutkannya pada para syuhada.
Ajaib, pada saat yang sama, seorang pelayan yang berkhidmat di makam Imam Ridha bermimpi. Ia merasa didatangi oleh Imam dan Imam berpesan agar bendera di atas kubahnya itu diberikan kepada orang yang akan datang memintanya esok hari. Pagi itu, terjadilah apa yang terjadi. Seorang Sayyid (memberanikan diri) meminta bendera itu, dan pelayan itu pun memberikannya. Sayyid lalu membawa bendera itu ke Libanon.
Perjalanan yang ditempuhnya biasa saja, tapi ada beberapa kendala. Ia terlambat beberapa saat untuk sampai di Libanon. Tepat pada saat kedatangannya, datang jenazah Muhammad Mahdi Ali Kajak. Bila ia datang lebih awal, mungkin belum ada yang akan beroleh selimut bendera itu. Bila ia datang lebih lambat, mungkin Muhammad Mahdi sudah dimakamkan. Muhammad Mahdi menjadi orang yang pertama berselimutkan bendera kubah makam Imam Ridha ra.
Pertanyaannya: adakah hal yang istimewa? Ternyata, Muhammad Mahdi telah menulis dua surat untuk Imam Ridha, agar dibacakan oleh mereka yang ia titipi suratnya dalam berziarah ke Imam Ridha. Ia mengirim dua surat. Menurut pembaca surat itu, Muhammad Mahdi hanya berharap kepada Allah Ta’ala dengan perkenan keberkahan doa Imam Ridha, agar ia beroleh anugerah kemuliaan gugur di jalan Allah. Syahadah, sebuah kematian mulia. Suratnya hanya berisi permohonan mati syahid. Yang lebih menakjubkan lagi, surat kedua sampai pada Imam Ridha, dibaca oleh pembawa surat, tepat pada hari ketika malakal maut menjemputnya dalam kemuliaan syahadah. Ia syahid pada saat surat keduanya dibacakan di depan makam Imam Ridha ra. Jadilah bendera pusara itu menghiasi kain kafannya. Suratnya dibalas Imam keturunan Rasulullah Saw itu.
Di tengah arus informasi dan tantangan zaman ini, kita harus mempersiapkan anak-anak kita untuk selalu menarik benang yang panjang dari setiap langkah mereka. Bahwa mereka tidak hanya hidup di dunia ini. Bahwa mereka diciptakan untuk sebuah perjalanan yang abadi. Seperti Muhammad Mahdi yang mencintai Imam Ridha, anak-anak kita semestinya mempunyai teladan-teladan penunjuk jalan. Guru-guru yang mengajarkan pada mereka kecintaan sesama, kepedulian dan empati pada derita. Mari kisahkan tokoh-tokoh kemanusiaan pada anak-anak kita. Ceritakan tentang para sahabat Nabi Saw yang setia, tentang Luqman, tentang Gandhi, Bunda Teressa, Sidharta. Mari sampaikan pada mereka pengorbanan Sayyidina Husain ra cucunda Nabi Saw. Mari tanamkan pada mereka kisah-kisah penggugah dari para waskita. Di atas semuanya, mari hamparkan karpet merah untuk teladan Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci, para teladan kekasih hati.
Di antara teladan itu adalah doa yang diajarkan Sang Nabi Saw. Satu ketika, ada seorang sahabat yang memohon agar Baginda mendoakan putranya. Nabi Saw mencium putra sahabat itu dan berkata: Allahumma jammilhu wa adim jamaalah. Ya Allah, indahkan ia dan kekalkan keindahannya. Indahkan lahir dan batinnya. Mengikut Baginda Nabi Saw saya meminta agar guru-guru di Sekolah Muthahhari juga mendawamkan doa itu, sebelum mereka mulai mengajar. Tak lama, hanya beberapa detik saja. Tapi bayangkan manfaat ruhaniahnya. Orangtua murid saya anjurkan pula turut membacanya. Ada pula doa yang berbunyi: Allahumma zakkihim wa adim zakaahum. Kata zakaa bermakna: suci, tumbuh kembang yang baik, dan cerdas. Dalam satu kalimat singkat itu kita memohon agar Allah Ta’ala menyucikan anak-anak kita, mengarahkannya pada tumbuh kembang yang baik, dan mencerdaskan mereka. Tidak cukup di situ, kita berdoa “Ya Allah, kekalkan kesucian, tumbuh kembang, dan kecerdasan anak-anak itu.”
Semoga teladan Baginda Saw dan keluarga sucinya menyala senantiasa dalam jiwa anak-anak kita. Karena,—seperti dikutip Imam Syafi’i—cukuplah keutamaan itu kecintaan pada keluarga Nabi.
Sungguh, itu bekal terbaik untuk mempersiapkan anak-anak kita dalam perjuangan mereka di abad 21 ini. Semoga. Mohon doa senantiasa.
@miftahrakhmat
Miftah Fauzi Rakhmat adalah Direktur Yayasan Muthahhari, Kepala SMA Plus Muthahhari, dan Guru Lifeskills SMP Bahtera